Syachrani, Maju dengan Kerupuk Amplang
Syachrani (68), petugas juru bayar di Detasemen Pembekalan dan Angkutan Korem 102/Panju Panjung, mengawali usaha kerupuk amplang ikan pipih (”Notopterus chitala”) pada 1986. Bersama istrinya, Saneah (66), dia belajar membuat kerupuk amplang pada Embuniwati, kakak Saneah. Waktu itu hidup pas-pasan dan kami mulai belajar memasak kerupuk amplang yang dijual di kios kelontong dan kios rokok untuk menambah penghasilan. Harga sebungkus kerupuk hanya Rp 25,” kata Syachrani yang terus menekuni usaha pembuatan kerupuk amplang setelah pensiun pada 2002.
Pada tahun-tahun awal membuat kerupuk amplang, Syachrani bersama istri sering kali gagal karena kerupuk mudah melempem dan juga kadang kala terlalu banyak minyak sehingga terlalu basah. Meskipun demikian, dia tetap mencoba hingga berhasil menemukan takaran yang pas untuk membuat kerupuk amplang yang renyah.
”Sekitar tahun 1990, kami mulai menjual kerupuk di sejumlah toko swalayan. Saat ini ada 12 toko swalayan yang menjual kerupuk kami,” kata Syachrani yang memiliki lima cucu dan tiga buyut dari kedua putrinya, Senin (13/1/2014). Dari usaha menjual kerupuk amplang ini mereka mampu menunaikan ibadah haji.
Syachrani pun mengikuti pelatihan dan bimbingan yang difasilitasi sejumlah instansi pemerintah untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan membuat kerupuk amplang. Dia pernah mengikuti pelatihan Penyuluhan Keamanan Pangan Industri Rumah Tangga Pangan yang diselenggarakan Dinas Kesehatan Kota Palangkaraya pada 26-27 Mei 2005 serta mengikuti Bimbingan Teknis Piagam Bintang Satu Keamanan Pangan yang diselenggarakan Balai Pengawas Obat dan Makanan RI di Palangkaraya pada 2005 dan 2006.
Selain itu, Syachrani juga menjadi juara I pada Seleksi dan Verifikasi UKM Pengolahan Tingkat Provinsi Kalteng pada 6 Desember 2008 yang diselenggarakan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kalteng. ”Saya diberi hadiah alat pres kemasan,” katanya seraya menunjukkan piala penghargaan itu.
Syachrani membuat kerupuk amplang lima kali dalam sebulan. Setiap kali membuat kerupuk, dia biasa menghasilkan 130 bungkus kerupuk amplang yang masing-masing seberat 70 gram per bungkus. ”Tidak setiap hari kami membuat kerupuk, paling seminggu sekali sambil juga terus melihat persediaan di toko swalayan,” katanya. Produksi ini sengaja dibatasi untuk menjaga kualitas rasa kerupuk amplang buatannya.
Kerupuk amplang ikan pipih buatannya dijual Rp 11.000 per bungkus. ”Di toko-toko harga jualnya menjadi sekitar Rp 13.200 per bungkus. Harganya terus meningkat karena ikan pipih semakin mahal dan sulit dicari akibat sungai yang tercemar,” kata Syachrani.
Pada awal tahun 2000-an, Syachrani mengaku menjual kerupuk amplangnya hanya Rp 5.000 per bungkus. ”Pada waktu itu, harga ikan pipih masih Rp 20.000 per kg. Sekarang harganya sudah Rp 85.000 per kg,” katanya.
Ikan pipih dibelinya dari dua penjual ikan langganan di Pasar Besar, Palangkaraya. Karena ikan pipih yang hidup di sungai-sungai di Kalteng semakin sulit ditangkap, tidak setiap hari tersedia ikan pipih. ”Jika ada ikan pipih, kami ditelepon dan ikan akan diantar ke rumah,” ujar Syachrani.
Untuk membuat kerupuk amplang sebanyak 130 bungkus, dia memerlukan modal sekitar Rp 600.000 untuk membeli bahan-bahan, antara lain 7 kilogram (kg) tepung tapioka, 5,5 kg daging ikan pipih, 20 telur, 4 liter minyak goreng, bawang putih, dan penyedap rasa.
Selama ini Syachrani mengolah adonan, menggoreng, dan mendistribusikan kerupuk hanya berdua dengan istrinya. ”Kami menggunakan sepeda motor berkeliling kota mengantarkan kerupuk ke 12 toko di Palangkaraya,” ujarnya. Setiap toko menerima 10-20 bungkus kerupuk amplang ikan pipih buatannya. ”Kami tak bisa mengantar lebih banyak lagi mengingat usia,” katanya.
Untuk mempertahankan usahanya yang dikenal dengan merek Kerupuk Amplang Asli Ikan Pipih Haji Syachrani, dia berencana membuka kios khusus di tepi jalan raya yang hanya menjual kerupuk amplangnya. Dia juga bertekad mewariskan resep pembuatan kerupuk ini kepada anak-anak dan juga cucunya.
Hasil penjualan 130 bungkus kerupuk itu mencapai Rp 1.430.000. Setelah dikurangi biaya produksi, Syachrani memperoleh laba Rp 830.000 setiap 130 bungkus. Dalam sebulan, dia bisa memperoleh laba bersih sekitar
Rp 4.150.000.
Melalui penghasilannya sebagai juru bayar sejak 1976 hingga 2001, ditambah hasil penjualan kerupuk amplang ikan pipih, Syachrani mampu menyekolahkan putrinya hingga lulus dari Fakultas Pertanian Universitas Palangkaraya. Selain itu, Syachrani dan istri juga telah melaksanakan ibadah haji pertama kali pada 1995. Dia juga menunaikan ibadah umrah pada 14 Januari 2014.
Tahan 25 hariUntuk menjaga kualitas rasa dan kesehatan, Syachrani tidak berani memberikan tambahan bahan pengawet dan campuran daging ikan lain. ”Pada kemasan terdapat tulisan ikan pipih, saya tidak ingin membohongi pelanggan. Selain itu, agar sehat, saya menghindari pemakaian pengawet. Risikonya kerupuk amplang ini hanya tahan maksimal 25 hari. Jika memakai pengawet, bisa tahan hingga tiga bulan,” paparnya.
Syachrani menambahkan, kerupuk amplang buatannya pun hanya dijual di Kota Palangkaraya. ”Semakin jauh lokasi penjualan, daya tahan kerupuk harus lebih lama dan dibutuhkan pengawet. Biarkan kerupuk ini menjadi kekhasan Palangkaraya,” ungkap Syachrani.
Syachrani juga mengaku sulit mengembangkan usahanya, antara lain, karena terkendala bahan baku daging ikan pipih. Ikan pipih juga sulit dibudidayakan oleh petani ikan. Padahal, Syachrani selama ini memilih tidak mencampur dengan daging ikan lain untuk menjaga kekhasan dan kualitas ikan pipih. Dia ingin kerupuk amplang ikan pipih ini bertahan lama. (Megandika Wicaksono)
sumber
sumber