Korban PHK, Bambang dan Istri Sukses Bertani

Korban PHK, Bambang dan Istri Sukses Bertani

PERIKSA TANAMAN Bambang (46) seorang petani sayur mayur di Desa Bundar, Kecamatan Karang Baru Aceh Tamiang memeriksa kondisi tanaman bunga kolnya yang sudah berumur 25 hari di lahan seluas 50x50 meter persegi yang dipinjamkan kepadanya, Sabtu 17 Agustus 2013. (medanbisnis/ck05)

MedanBisnis - Aceh Tamiang. Lahan pertanian yang diolah Bambang (46) bersama istrinya di Desa Bundar, Kecamatan Karang Baru, Kabupaten Aceh Tamiang, terbilang sempit. Memanfaatkan lahan tidur seluas 50x50 meter persegi, Bambang menekuni pertanian sayur-mayur utamanya bunga kol.
Hampir sudah dua tahun dia menanam bunga kol di lahan yang dia olah secara pinjam pakai. Bambang mengaku sudah tiga kali panen. "Alhamdullilah, dari panen itu bisa mencukupi kebutuhan rumah tangga," ujar Bambang membuka pembicaraan, saat ditemui MedanBisnis di kediamanya, Sabtu (17/8).

Kepada MedanBisnis, bapak tiga anak ini mengaku, dalam sekali panen sayuran bunga kol dia bisa mengumpulkan pundi-pundi rupiah berkisar Rp 2,5 juta sampai Rp 3 juta. Fulus sebanyak itu diperoleh dari hasil penjualan 350 kg bunga kol dalam masa 45 hari untuk sekali panen. Harga bunga kol berkisar Rp 10.000/kg bila ditolak ke pasar dan diborong agen sayur. Namun bila dijual sendiri harga bisa Rp 12.000 sampai Rp 13.000. 

"Cukuplah untuk kebutuhan sehari-hari rumah tangga kami," ucap Bambang.
Bambang dan istrinya, Sri Lestari (42), adalah mantan keryawan pabrik kelapa sawit (PKS) PT PPP, pada Juli 2011 masuk rombongan pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran bersama 74 karyawan. Bambang dan Sri terpaksa menamatkan karir di perusahaan sawit tersebut. "Alasan perusahaan mem-PHK karena ada pengurangan tenaga kerja," sambung Sri seraya menambahkan saat bekerja di PT PPP bertugas di bagian keuangan di PKS tersebut.

Namun jadi korban PHK tak serta merta membuat mereka vakum aktivitas. Bermodalkan uang pesangon, pasangan suami istri ini berusaha bangkit dengan banting setir menjadi petani sayur. Terbukti, tidak harus terlalu lama jatuh menekuni profesi barunya, mereka berdua sudah tergolong sukses, bahkan Sri saat ini didaulat menjadi ketua kelompok tani (koptan) di desanya.

Kendati demikian, tidak ada keberhasilan yang datang mendadak, semuanya melalui proses. Seperti saat ini, Bambang dan Sri terus berupaya mempertahankan usaha yang tengah dikelola, termasuk upaya mempertahankan tanaman tak habis diserang hama.

Ya, Bambang mengeluhkan hama ulat perusak daun, yang kerap menjadi momok petani karena kerap mengakibatkan gagal panen pada tanaman bunga kol.

Tapi itulah dinamika sebagai petani. Bambang dan Sri tetap bersemangat, termasuk dengan memperluas cakupan usaha lewat bertanam jenis sayuran lain.

Selain menanam bunga kol, Sri menguji coba tanaman brokoli, dan juga budidaya bibit bunga kol yang sudah mulai dijualnya dengan harga Rp 400/bibit siap tanam umur sekira satu minggu. Pembelinya selain warga lokal, ada yang datang dari Dinas Pertanian setempat yang tertarik untuk membudidayakannya.

Namun Bambang dan Sri berharap Dinas Pertanian membantu mereka dengan memberikan modal tambahan. Ini juga supaya kelompok tani yang dibina dapat berjalan sesuai program.
"Baru-baru ada pihak Dinas Pertanian dari bidang pangan datang meninjau lahan kami, disarankan PNS Dinas Pertanian itu supaya mengusulkan bantuan kelompok tani melalui proposal. Dan saran tersebut sudah saya jalankan kemarin," katanya. (ck 05)